Minggu, 16 Januari 2011

PERANG MUKTAH


Bermula dari diutusnya Al-Harits bin Umair oleh Rasulullah
untuk mengirim surat kepada
pemimpin Bushra. Namun dalam
perjalanan ia ditangkap
...pemimpin Al-Balqa dan dibawa
ke hadapan kaisar Romawi. Di
sana Harits dipenggal lehernya.
Padahal membunuh utusan
adalah kejahatan besar yang
juga bermakna pengumuman
perang.
Rasulullah kemudian
menghimpun 3.000 pasukan
untuk berperang dengan
Romawi. Peperangan pertama
dengan Romawi ini di belakang
hari dikenal dengan nama
Perang Muktah.
Kali ini Rasulullah tidak ikut
berperang. Beliau berada di
Madinah. Tetapi atas izin Allah,
beliau bisa mengetahui jalannya
peperangan dan apa yang
terjadi di Muktah. Hingga satu
hari, saat bersama dengan para
sahabat, beliau bercerita sambil
meneteskan air mata. “Zaid
mengambil bendera lalu dia
syahid. Kemudian Ja’far yang
mengambilnya dan dia pun
syahid. Lalu Ibnu Rawahah yang
mengambilnya dan dia pun
syahid.”
Siapa yang tidak menangis
mendengar sahabat sekaligus
kader terbaiknya pergi untuk
selamanya. Dan kali ini, dalam
satu hari tiga sahabat terbaik itu
pergi: Zaid bin Haritsah, Ja’far
bin Abi Thalib, dan Ibnu
Rawahah. Para sahabat yang
mendengar kabar dari Rasulullah
itu juga tak kuasa menahan air
mata. Apalagi saat mengetahui
peristiwanya secara detail.
Sesuai perintah Rasulullah,
pasukan Islam dipimpin Zaid bin
Haritsah dengan bendera di
tangannya. 3.000 pasukan Islam
melawan 100.000 tentara
Romawi jelas tak seimbang. Zaid
bertempur dengan gagah berani.
Sampai kemudian sebuah
tombak Romawi menancap di
tubuhnya. Darah segar
assaabiquunal awwalun tumpah
di bumi Muktah. Andaikan
memiliki air mata, tanah di sana
sudah menangis sejak tubuh
mulia itu terjatuh. Zaid
tergeletak sudah. Syahid.
Bendera segera diambil Ja’far bin
Abu Thalib. Kini gilirannya
memimpin pasukan Islam.
Sahabat yang tampan ini
bertempur hebat di atas
kudanya. Ketika pertempuran
makin sengit, kudanya terkena
senjata musuh. Ja’far terlempar.
Ia segera kembali bertempur
lagi. Sampai akhirnya, ada
pasukan Romawi yang menebas
tangan kanannya hingga putus.
Darah suci pahlawan Islam
tertumpah ke bumi. Ja’far belum
kalah! Kini bendera Islam
dipegang dengan tangan
kirinya. Rupanya pasukan
Romawi tidak rela bendera itu
tetap berkibar. Disabetnya
tangan kiri Ja’far hingga putus.
Kini ia kehilangan dua
tangannya. Yang tersisa
hanyalah sedikit lengan bagian
atas. Dengan sisa lengan itu
Ja’far menahan bendera agar
tetap berkibar. Namun pasukan
Romawi semakin menjadi. Ada
diantara mereka yang
menyerang Ja’far dan membelah
tubuhnya menjadi dua. Ja’far
jatuh untuk yang terakhir
kalinya. Syahid. Sahabat terbaik
sekaligus sepupu Rasulullah ini
syahid dengan lebih dari lima
puluh luka di tubuhnya, luka
sabetan pedang dan hujaman
tombak.
Abdullah bin Rawahah segera
mengambil bendera itu dan
mengibarkannya. Kini ia yang
memimpin pasukan. Ia memilih
turun dari kudanya dan
bertarung di bawah. Setelah
melantunkan syair yang
membakar semangat ia maju
merangsek musuh dengan
pedangnya. Ia bertarung
sebagai seorang ksatria.
Beberapa waktu kemudian
pasukan Islam melihatnya
terjatuh dengan darah yang
menyirami bumi Muktah.
Abdullah bin Rawahah syahid
saat itu juga.
Rasulullah menangis mengetahui
itu. Para sahabat di sisi
Rasulullah juga tidak henti-
hentinya meneteskan air mata.
Tangis duka. Tangis kehilangan.
Kehilangan sahabat-sahabat
terbaik. Kehilangan pahlawan-
pahlawan pemberani. Namun
bersamaan dengan tangis itu
juga ada kabar gembira bagi
mereka. Bahwa ketiga orang itu
kini disambut para malaikat
dengan penuh hormat, dijemput
para bidadari, dan mendapati
janji surga serta ridha Ilahi.
Secara khusus kepada Ja’far bin
Abu Thalib yang terbelah
tubuhnya, ia dijuluki dengan
Ath-Thayyar (penerbang) atau
Dzul-Janahain (orang yang
memiliki dua sayap) sebab Allah
menganugerahinya dua sayap di
surga, dan dengan sayap itu ia
bisa terbang sekehendaknya.
Kita, yang merasa bangga
dengan sebutan kader dakwah,
seringkali mengeluh dengan
medan dakwah yang kita
hadapi. Berat! Kita dalam
aktifitas dakwah ini sering
pulang malam. Di hari libur kita
tidak bisa istirahat karena justru
hari-hari itu banyak acara.
Korban waktu. Korban tenaga.
Bahkan mengeluarkan sebagian
uang kita. Sementara
masyarakat yang kita dakwahi
tidak juga menyambut Islam
sebagai manhaj mereka. Kita
merasa sangat berat, dan
seringkali mengeluh.
Kita merasa berat padahal kita
tidak pernah berjihad. Kita
mengeluh sering pulang malam
dan kecapekan karena kita tidak
pernah membayangkan
mobilitas para sahabat seperti
Zaid, Ja’far dan Ibnu Rawahah
yang menempuh perjalanan
beberapa pekan, lalu berperang
beberapa pekan pula. Kita
mengeluhkan hari libur yang
tersita sehingga jarang
berekreasi bersama keluarga
karena kita tak pernah
menempatkan diri seperti Zaid,
Ja’far dan Ibnu Rawahah yang
setiap kali berangkat jihad
mereka meninggalkan wasiat
pada istri dan keluarganya. Kita
mengeluh korban tenaga,
kehujanan, sampai terkena flu
bahkan masuk rumah sakit.
Karena kita tak pernah
membayangkan jika kita yang
menjadi para sahabat. Bukan flu
yang menyerang tetapi anak-
anak panah yang menancap di
badan. Bukan panas dan
meriang yang datang tetapi
tombak yang menghujam. Bukan
batuk karena kelelahan tapi
sayatan pedang yang
membentuk luka dan
menumpahkan darah.
Kita mengeluh dengan
pengeluaran sebagian kecil uang
kita karena kita tidak
membayangkan betapa
besarnya biaya jihad para
sahabat. Mulai dari membeli unta
atau kuda, baju besi sampai
senjata. Kita mengeluhkan
masyarakat kita yang tidak juga
menyambut dakwah sementara
Zaid, Ja’far, dan Ibnu Rawahah
bahkan tak pernah mengeluh
meskipun berhadapan dengan
100.000 pasukan musuh. Kita
merasa berat dan seringkali
mengeluh karena kita tak
memahami bahwa perjuangan
Islam resikonya adalah kematian.
Maka yang kita alami bukan apa-
apa dibandingkan tombak yang
menghujam tubuh Zaid bin
Haritsah. Yang kita keluhkan
tidak ada apa-apanya
dibandingkan dengan sabetan
pedang yang memutuskan dua
tangan Ja’far bin Abu Thalib dan
membelah tubuhnya. Yang kita
rasa berat tidak seberapa
dibandingkan luka-luka di tubuh
Ibnu Rawahah yang
membawanya pada kesyahidan.
Lalu pantaskah kita berharap
Rasulullah menangis karena
kematian kita? Pantaskah kita
berharap malaikat datang
menyambut kita? Atau bidadari
menjemput kita? Kemudian
pintu surga dibukakan untuk
kita?
Ya Allah, jika kami memang
belum pantas untuk itu semua,
jangan biarkan kami mengeluh
di jalan dakwah ini. Ya Allah,
anugerahkanlah hidayah-Mu
kepada kami, dan janganlah
Engkau jadikan hati kami
condong pada kesesatan
sesudah Engkau memberi
hidayah pada kami. Amin.Lihat Selengkapnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar